Sabtu, 22 Oktober 2011

Putri Ulin

Pada jaman dahulu hiduplah seorang putri bernama Putri Ulin. Sejak kecil dia tinggal sendirian di dalam hutan. Kedua orangtuanya sudah lama meninggal saat ia masih kecil. Ayahnya mati karena diterkam harimau, sedangkan Ibunya meninggal pula tak lama setelah sang suami. Tak sanggup untuk menahan kesedihan atas kematian suaminya.




Hari berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Roda waktu terus berputar dan kini Putri Ulin telah tumbuh menjadi gadis yang jelita nan perkasa. Ia menjadi pemimpin dari seluruh hewan yang ada di hutan. Bahkan ia sanggup mengalahkan harimau yang dulunya membunuh Ayahnya, menjadikannya salah satu hewan pengikut yang paling setia.

Di suatu pagi yang damai, Putri Ulin tengah duduk di bawah rindangnya daun pepohonan. Menikmati tiap hembusan angin yang berdesir lembut menerpa wajahnya. Rambut honey blond-nya berkibar dimainkan oleh angin, menari diiringi guguran daun. Ya, Putri Ulin tidak hanya kuat nan gagah. Ia sangatlah cantik.

Euforia dalam hening itu terkoyak tatkala seekor burung elang terbang ke arah Putri Ulin. Burung yang merupakan sahabat kepercayaan Putri itu datang membawa berita yang datang dari danau di tengah hutan.

“Angin apakah yang membawamu datang ke tempatku, wahai sahabatku?” tanya sang Purti Ulin.

“Wahai Putri, para burung gereja dan kupu-kupu berkata bahwa ada seorang manusia yang masuk ke danau di tengah hutan kita. Aku takut bila keberadaannya akan mengganggu ketentraman hutan,” ucap sang elang.

Putri Ulin terdiam, iris hitam pekatnya menatap lurus pada mata bijak sang elang. Kemudian ia beranjak dari duduknya. Meminta sang elang untuk mengantarnya pada manusia yang telah lancang memasuki wilayah kekuasaannya. Ketika Putri Ulin dan sang elang tiba di lokasi, mereka disambut oleh sekawanan burung dan seekor harimau besar yang bersembunyi di balik semak-semak. Tentu saja tak lain tak bukan hewan-hewan itu sedang mengamati sosok manusia ‘perusak alam’ yang ada di pinggir danau sana.

Putri Ulin ikut bersembunyi, sembari mencari celah di antara dedaunan untuk melihat sosok yang misterius namun tak terlalu menarik minatnya tersebut. Dilihatnya sosok pemuda yang sebaya dengannya. Matanya berpendar indah, berwarna biru aquamarine. Rambut raven-nya teriup lembut oleh alunan angin. Ia tampan, setidaknya terlihat begitu. Namun perlu kita ingat bahwa Putri Ulin bukanlah gadis muda masa kini yang akan langsung jatuh cinta ketika melihat pemuda tampan. Sungguh, baginya pemuda tampan jelmaan neptunus dan burung raven itu hanyalah seekor kecoa yang dengan bodohnya melompat ke sarang kadal. Terlepas dari pernyataan sekaligus pertanyaan akan validnya perumpamaan barusan. Apakah kadal akan memakan kecoa?

“Tuan Purti, haruskah saya menerkam dan membunuh orang lancang itu detik ini juga?” tanya sang harimau, tak lupa melekatkan nada yang begitu penuh rasa hormat pada tiap butir perkataannya. Lamunan Putri Ulin terbuyar seketika.

“Tidak perlu,” jawab sang Putri.

“Perlu kau ketahui bahwa pemuda yang di sana itu adalah pangeran dari kerajaan Alonia. Orangtuanyalah yang merebut tahta Ayahmu dan membuang keluargamu ke dalam hutan,” ucap sang elang.

Putri Ulin kembali membisu. Ia dapat mengingat saat di mana Ibunya bercerita, bahwa ia adalah anggota kerajaan. Ayahnya dulu adalah Raja negeri Alonia,sementara Ibunya adalah permaisuri yang anggun nan setia. Sepasang suami-istri itu memimpin negeri Alonia dengan, menjadikannya negeri yang makmur. Sayangnya dua insan itu diperdaya oleh saudaranya yang iri hati atas keberhasilan mereka. Hingga akhirnya mereka terusir ke hutan yang dalam, terpaksa meninggalkan tahta dalam istana. Dalam hutan inilah sang Putri Ulin terlahir, tumbuh dewasa menjadi gadis yang cantik nan tegar.

“Lalu apa peduliku? Aku lebih suka membakar hidup-hidup orang yang sungguh membuang keluargaku, daripada membunuh anaknya yang terlihat culun dan bodoh di sana,” komentar sang Putri dengan nada bicara datar namun penuh keteguhan.

Setelah itu, Putri Ulin langsung melompat keluar dari semak tempat ia bersembunyi. Sang pangeran terkejut tatkala melihat gadis cantik serupa Tarzan yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Pangeran itu berkeringat dingin, termakan oleh tatapan sinis yang ditusukkan dari onyx sang Putri hutan tersebut.

“Siapa kau?” tanya Putri Ulin. Nada bicaranya sangat dingin.

“Eh, aku? namaku Roan,” jawab sang pangeran dengan nada tergagap. Dari sini sang Putri dapat menyimpulkan bahwa ia bukanlah orang yang punya kekuatan atau pun wibawa. Sungguh menyedihkan.

“Pergilah dari hutan ini. Kalau kau kabur sekarang, aku akan membiarkanmu lolos dalam keadan hidup. Tapi kalau tidak...” ujar Putri Ulin sembari menatap tajam pada manusia tersebut. Ia sengaja menggantungkan kalimatnya, menambah kesan intimidasi pada sosok Pangeran tersebut.

“Eeeh? Tidak bisa!” Sang Putri menaikkan sebelah alisnya, heran atas jawaban yang diberikan sang Pangeran. Baru kali ini ada makhluk yang berani menentang perintahnya, “Saat ini aku sedang kabur dari pelajaran politik, jadi aku tidak bisa kembali,” tambahnya.

“Hmph, Pangeran yang sangat egois sekali,” ucap Putri Ulin, memicingkan matanya pada Pangeran Roan sebagai tanda tak suka.

“Hei, aku tidak egois— tunggu! Darimana kau tahu kalau aku ini Pangeran negeri Alonia?”

“Kau baru saja mengucapkannya dengan mulutmu sendiri,” Sang Putri melipat lengannya di depan dada.

“Oh, iya juga. Hei! Bukan itu maksudku—“

“Diam dan pergilah. Kalau kau bersikeras tidak ingin pergi, maka aku akan mengenyahkanmu,” ucap Putri Ulin yang kemudian bersiul, memanggil dua pengawalnya.

Dengan sebuah siulan, sang elang dan macan yang tadinya bersembunyi kini melompat keluar. Dua hewan itu melompat ke sisi Putri Ulin, menatap sang pangeran dengan mata yang berkilat tajam. Sang Pangeran menelan ludahnya. Lidahnya kelu seketika. Meski takut, namun nyatanya Pangeran Roan masih nekad dan bersikeras. Sang Pangeran memohon pada Putri Ulin supaya mengijinkannya untuk tetap tinggal di hutan ini, paling tidak sampai dua jam kemudian. Pertama sang Putri menolak dengan tegas, namun dinding yang dibangun sang Putri kian lama makin luluh. Akhirnya ia mengijinkan sang Pangeran untuk tinggal sementara waktu.

“Terimakasih! Ngomong-ngomong, boleh aku tahu namamu?” tanya sang pangeran, senyumnya merekah bagaikan teratai yang baru mekar.

“Namaku Ulin,” jawab sang Putri.

“Ulin? Hahaha, namamu aneh sekali!” Tanpa diduga, sang Pangeran malah menertawakan nama Putri Ulin. Seketika itu juga sang burung elang mematuki kepala Pangeran Roan dengan sadisnya.

“Beraninya kau menghina nama yang diberikan oleh elang sahabatku!” bentak sang putri.

“Aduduh aduh! Tunggu dulu, kau dinamai oleh dia?” tanya Pangeran Roan sembari menahan rasa sakit atas patukan burung elang yang murka tersebut.

“Ya, karena aku lupa nama asliku sendiri. Orangtuaku sudah lama meninggal saat aku masih kecil, jadi yang membesarkanku adalah mereka ini,” ujar sang Putri sambil tersenyum simpul ke arah elang sahabatnya.

“Kalau begitu, kau bisa bicara dengan hewan dong?”

“Tentu,” jawabnya singkat.

“Kau tahu nama mereka?” tanya sang Pangeran. Bukan hal penting memang, namun inilah Pangeran Roan. Selalu peduli dan menaruh perhatian pada hal-hal kecil.

“Sahabatku ini Bernama Taka dan harimau ini namanya Tora,” jawab Putri Ulin, mengenalkan kedua hewan yang mendampinginya.

Kontan Pangeran Roan tertawa terbahak-bahak. Suaranya bahkan seolah meledak. Menyisakan wajah sang Putri yang pemuh akan urat kemarahan laknat. Entah kenapa ia bisa emosi mendadak.

“Kenapa kau tertawa?!” Nyaris ia mencekik Pangeran Roan bila tawa itu tak segera dihentikannya.

“tidak, hanya saja rasanya tipikal sekali. Aku pernah dengar bahwa dalam bahasa negeri timur sana, ‘Taka’ itu berarti elang dan ‘Tora’ artinya harimau. Nama yang benar-benar ‘mereka’,” ujar sang Pangeran, masih berusaha keras untuk menahan ledakan tawanya.

Putri Ulin tiada membalas perkataan itu, hanya membisu dengan wajah yang tertekuk. Tawa itu seolah membuat jiwa otoriternya takluk. Ketika menghadapi orang ini, emosinya seolah hanyut ke dalam teluk. Mungkin pemuda ini bukanlah orang berhati buruk. Ia berbeda dari sosok manusia yang pernah diceritakan Tuan beruang sebagai dongeng pengantar tidurnya dulu, yang katanya mereka sangatlah busuk. Untuk kali ini saja, mungkin ia boleh berpikir sedikit muluk.

“Kau orang yang unik sekali! Kalau begitu, bagaimana kalau mulai sekarang kita berteman?” Sang Pangeran mengulurkan tangannya, menunggu untuk berjabat dengan tangan lembut Putri Ulin.

Sang Putri ragu, masih tak bisa menaruh percaya pada manusia. Apalagi ia anggota kerajaan Alonia. Kerajaan yang harusnya tahtanya diduduki olehnya. Namun nyatanya tangan itu turut menjabat tangan sang Pangeran yang terulur hangat di hadapannya. Bahkan tak ada niatan untuk membocorkan rahasia bahwa ia adalah pemilik asli kerajaan Alonia. Lagipula Putri Ulin sama sekali tidak menginginkan tahtanya. Ia lebih memilih untuk tinggal di hutan ini bersama para hewan kesayangannya.

Dan sejak saat itu, mereka berteman.

Fin. (Ngaco! Belum tamat cuyy!)

Ehem, lanjut...

Setelah itu, hampir setiap hari Pangeran Roan datang ke hutan untuk bermain dan menghindari pelajarannya si istana. Dan di danau yang sama, Putri Ulin selalu menunggu kedatanganya. Banyak hal yang mereka lalui. Berpetualang di hutan, berbagi cerita dan ilmu, bermain dengan anak-anak hewan, hari-hari mereka selalu berwarna sejak saat itu.

Hingga datanglah sebuah badai yang akan membawa tragedi dalam kisahnya.

Pagi itu, seperti biasa Putri Ulin sedang duduk di pinggir danau. Ia menunggu kedatangan pangeran Roan. Beberapa kelinci dan tupai turut menemani paginya. Damai, sampai akhirnya keheningan itu terkoyak oleh suara kepakan sayap sang elang.

“Putri Ulin sahabatku, aku mendapat sebuah berita buruk,” ujar sang Elang.

Maka Elang yang gagah itu bercerita bahwa ketika ia melintasi menara istana, ia mendengar pembicaraan dari ruang rapat kerajaan Alonia. Sang raja memutuskan untuk membakar habis hutan tempat tinggal Putri Ulin dan teman-temannya, untuk dijadikan sebagai hunian para menteri. Mendengar berita tersebut, sang Putri Ulin murka. Ia langsung mengusir Pangeran Roan saat ia tiba di hutan. Ia tak ingin mendengar penjelsan apa pun dari pemuda bermata azure itu. Meninggalkan sosok Pangeran dengan sinar mata redup yang tertutup oleh poni ravennya yang terkulai.

Setelah kembali ke istana, Pangeran Roan berusaha membujuk Ayahnya untuk membatalkan pembakaran hutan tersebut. Berjam-jam ia berunding, namun tak membuhkan hasil yang memadai. Ia malah dikurung di dalam kamarnya. Pada akhirnya, eksekusi hutan itu tetap berjalan pada keesokan hari.

Di pagi berikutnya, sang Raja benar-benar memerintahkan pasukannya untuk membakar hutan yang luas itu. Namun kubu Putri Ulin tidak menyerah begitu saja. Ia bersama para hewan turut pergi keluar hutan. Para hewan menerkan dan menyerang dengan buasnya, dipimpin oleh sang Putri hutan. Namun jumlah mereka kalah banyak. Satu-persatu para hewan tumbang oleh panah dan pedang para pasukan yang keji. Mereka terdesak, nyaris tak ada lagi yang masih hidup. Putri Ulin berdoa di antara perang tersebut, kemudian muncullah bayangan kedua orangtuanya yang disinari oleh terangnya cahaya. Mereka memimpin Putri Ulin dan seisi hutan menuju nirwana. Secara ajaib, hutan besar itu menghilang dari permukaan tanah, menyisakan lubang luas nan gersang sepanjang bekasnya. Euforia berganti menjadi distopia, namun hutan itu tidaklah hilang. Mereka dan seisinya masih ada.

Ya, di tempat nan jauh di sana. Di mana tak akan ada seorang pun yang akan menyentuh barang sehelai daun pun dari hutan abadi itu.

Sementara itu, Pangeran masih mondar-mandir di dalam kamarnya. Ia khawatir atas keadaan Putri Ulin dan kawan-kawannya, namun apa daya ia terkunci di dalam kamarnya. Sungguh, ia ingin menolong sang Putri dan kawan-kawannya. Namun apa daya, ia tak sanggup berbuat apa-apa. Ia bahkan tak tahu bahwa hutan itu telah menghilang dari Alonia untuk selamanya.

Dan juga akan perginya sang Putri.

Baru saja Pangeran Roan membuka jendela untuk merealisasikan rencana kaburnya yang sangatgila: melompat dari jendela menara setinggi puluhan meter. Namun untungnya tekadnya yang sangat nekad itu urung karena badai angin ribut mungil yang menerpa wajahnya. Angin yang seolah mengajaknya bermain. Ketika Pangeran Roan membuka matanya, ia melihat sosok Putri Ulin, dengan sebuah gaun putih yang sangat indah. Dengan tiara kristal yang menghias rambut honey blond-nya. Dengan aura dan suasana berbeda dari biasa namun tidaklah asing bagi sang Pangeran rambut raven.


“Kau... Ulin?” tanyanya, masih berusaha meyakinkan dirinya atas pandangan yang ada di depan mata. Siapa tahu ia hanya berimajinasi. Siapa tahu kejadian ini hanya mimpi. Siapa tahu...

“Hei, Roan. Kurasa ini pertemuan terakhir kita. Sebentar lagi aku harus pergi bersama teman-temanku.”

“Pergi? Ke mana?”

“Ke tempat Ayah dan Ibuku. Aku datang ke tempat ini karena ada yang harus kusampakan padamu.”

Bisu, terjadi keheningan statis. Tak lama kemudia Putri Ulin melanjutkan ucapannya.

“Kelak jika kau dewasa, jadilah seorang Raja yang bijak dan wibawa. Pimpinlah negeri Alonia dalam damai dan makmur. Maka ketika itu terwujud, niscaya tanah mati yang kami tinggalkan akan kembali disirami berkah oleh sang Mikail. Warisilah negeri kami. Aku, Angeline de Scarlette mewakilkan nama kedua orangtuaku untuk memindahtangankan negeri Alonia kepadamu.”

“Scarlette? Kau anak dari Raja sebelum Ayahku? Raja Scarlette yang dikabarkan menghilang bersama keluarganya itu?” tanya Roan. Memutuskan untuk menunda sisa pertanyaannya di belakang.

“Ya, tepatnya Ayahmu membuang keluarga kami ke hutan. Supaya ia bisa mewarisi tahta ayahku.”

Pangeran Roan terkejut. Ia tak menyangka bahwa Ayahnyalah yang membuang keluarga sang Putri ke dalam hutan. Ia merasa bersalah, meski ia tak tahu-menahu akan perihal itu sampai detik ini. Namun belum sempat ia memberi reaksi, detik perpisahan telah sampai pada ujungnya.

“Baiklah, aku pergi dulu. Selamat berjuang ya, Roan saudaraku. Dan sahabat terbaikku...”

Mata sang Pangeran dibutakan sesat oleh silaunya cahaya melenyapkan fungsi pupilnya. Perlahan meredup, hingga irisnya kembali berkilat azure. Namun ia tak menemukan Putri Ulin di mana pun. Tak pernah lagi.

“Aku berjanji...”

Beberapa dekade setelah itu, negeri Alonia dikenal sebagai negeri yang paling makmur. Dipimpin oleh Raja yang arif nan bijak dan dengan tanah yang kaya akan kesuburannya. Dengan meninggalkan sebuah cerita yang jauh terkubur di dalam masa, abadi dalam benak sang Raja penuh wibawa. Terkunci rapat di balik sepasang mata azure dan rambut raven yang mulai kelabu. Meninggalkan sebuah rasa kasih akan negeri yang ditinggalkan oleh Tuan Putri mulia yang sinar mata onyx-nya tak akan lekang dalam memorinya.

The End

WUAHAHAHAHA! Galau, galau! God, cerpen apaan ini? DX
Jadi nge-angst, ini angst! Gah, demi apa aku malah ngetik cerita gaje yang plotless yang abal yang nista yang genre gajelas yang nggak diksi nggak dewa nggak ngerima dengan keren nggak jelas karakternya nggak jelas ending dan openingnya— PLAAK!


Banyak glitch-nya ini. Mata si Roan kan biru itu ya. Tapi aquamarine kan beda ama azure? DX (eaaa, point author bego pertama.)
Onyx ama raven bedanya apa coba. Kenapa raven sering dipakai buat rambut, sementara onyx kok sering ke mata? DX (Heaa, point author bego kedua)
Terus itu hubungannya Angeline ama Roan itu apaan? Sohib atau sodara siih? DX (heaheeaa, point author bego ketiga)
Bingung ini, masuk romance apa cuma friendship atau malah family ya? (point author bego ketiga setengah)
Hutannya ngilang dengan nggak logis. 0_0 (Heea, point author bego keempat)
Kenapa pas ortu Ulin muncul gak ada dialog ya? Kan itu adegan penting? (eaaa, point author bego kelima)
Terus apa-apaan itu nama ‘Tora’ sama ‘Taka’? jelas-jelas artinya harimau ama elang kaan? (heaaa, point author bego keenam)
Dan nama Scarlett itu apa nggak dicolong dari salah satu penname seniormu? (Heeaaa, point author bego ketujuh)
Eh, bahkan authornya ragu kalau honey blond itu warna yang sama dengan rambut Rin-Len Vocaloid. Kan rambut mereka itu pirang ya? Honey blond kan kayak kuning madu? (Heaa, point author bego kedelapan)

Dan masih banyak lagi. 8 aja, pas ama absenmu.

Me: Oh, just shut up kalian, wahai trio alter ego yang nanganin hidup gue aja ga becus. =”= (plak!!)
...Siapa juga yang ngomongin hal di atas itu? Apaan itu point author bego? NANTANGIN SAYA YA!? (plak!)

Au ah, galau. Mengingat ada sebuah aliansi ffn yang namanya... err, fictionpress ya? Yang khusus buat ori-fic itu kan? Enaknya publish ke sana nggak ya? Bikin acc lagi dong? Gh, toh ini story yan dibikin dengan terpaksa, denga hasil yang maksa pula. Jadi saia rasa gak usah repot2 bikin acc baru dan cukup saia share ke sini aja. -_-

Dan minna-san, selanjutnya saia disuruh bikin cerpen futuristik. Enaknya gimana ya? Yah, meski kayaknya saia bakal pakai setting kayak fic DC, mengingat di fic saia yang itu kan settingnya dari masa depan pula. Millenium century bergaya eropa abad pertengahan haha (plak!)

Dan dengan ini, agaknya saia menyatakan bahwa saia akan hiatus. -_-
Ajegile tugas saia buset buanyak banget! DX (curcol)
Jadi, jangan tagih2 update-an fic dulu untuk sementara waktu ya~? (plak!)
Buat yang req fic juga saia minta maaf banget, kayaknya bakal lama bikinnya... (gak tanggung jawab woi!)
...dan setelah ini saia nggak bisa nerima request lagi. Bisa mati saia. T^T
Eh tapi kalau trade fic saia mau! XDD (gapenting)

Okelah. Ja nee, ramaikan IFA 2011! XDD (woi, salah tempat mbak!)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 The Risen Dimension. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.